Ternyata Ini Asal Usul Hari Raya Galungan. Yuk Simak Sampai Habis!

Tahun ini umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan pada Rabu, 4 Januari 2023--Istimewa
Lontar sendiri bisa disebut ibarat pustaka suci (yang disucikan) / kitab pedoman dan disimpan oleh umat Hindu.
Galungan dan Kuningan dirayakan sebanyak dua kali dalam setahun kalender Masehi (kalender yang biasa kita pakai). Jarak antara Galungan dan Kuningan sendiri ialah 10 hari. Perhitungan perayaan kedua hari raya tersebut berdasarkan kalender Bali.
Galungan setiap hari Rabu pada wuku Dungulan. Sementara Kuningan setiap hari Sabtu pada wuku Kuningan. Di tahun 2012, Galungan dirayakan pada 1 Februari 2012 dan 29 Agustus 2012. Kuningan di tahun 2012 dirayakan pada 11 Februari 2012 dan 8 September 2012.
Makna Hari Raya Galungan dan Kuningan
Secara filosofis, Hari Raya Galungan dimaksudkan agar umat Hindu mampu membedakan dorongan hidup antara adharma dan budhi atma (dharma = kebenaran) di dalam diri manusia itu sendiri. Kebahagiaan bisa diraih tatkala memiliki kemampuan untuk menguasai kebenaran.
Dilihat dari sisi upacara, adalah sebagai momen umat Hindu untuk mengingatkan baik secara spiritual maupun ritual agar selalu melawan adharma dan menegakkan dharma. Bisa disimpulkan bahwa inti Galungan ialah menyatukan kekuatan rohani agar umat Hindu mendapat pendirian serta pikiran yang terang, yang merupakan wujud dharma dalam diri manusia. Kesimpulannya, hakikat Galungan adalah perayaan menangnya dharma melawan adharma.
BACA JUGA:Catat! Ini Daftar Hari Libur Nasional 2023, Idul Fitri Tinggal 4 Bulan Lagi
BACA JUGA:Destinasi Wisata Danau Shuji Jadi Pilihan Utama Saat Libur Keluarga
Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma melawan adharma.
Pada hari Jumat Wage Kuningan yang juga disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama sebenarnya tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan pada hari ini, hanya berupa anjuran untuk melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah pikiran yang buruk/kotor). Keesokan harinya yakni Sabtu Kliwon atau disebut Kuningan, dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksanakan pada pagi hari. Serta menghindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara “diceritakan” kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga).
Dilansir dari tirto.id, sejarah Hari Raya Galungan erat kaitannya dengan mitologi Hindu-Bali. Pertama kali dirayakan pada 882 Masehi, ritual ini sempat terhenti selama bertahun-tahun. Perayaan Galungan kembali diadakan pada masa pemerintahan Raja Sri Jayakasunu. Hari Raya Galungan diperingati setiap 6 bulan sekali dalam penanggalan Bali. Sejarah dan prosesi hari raya ini sangat bermakna bagi masyarakat Hindu di Pulau Dewata.
Dalam kalender Bali, satu bulan terdiri dari 35 hari. Galungan jatuh pada Rabu Kliwon. Istilah khusus untuk menyebut hari itu adalah Budha Kliwon Dungulan atau hari Rabu Kliwon dengan wuku Dungulan, yang bermakna: hari kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kejahatan). Fred B. Eiseman Jr. dalam Bali Sekala and Niskala: Essays on Religion, Ritual and Art (1989) mengungkapkan bahwa Galungan menandai awal dari upacara keagamaan yang paling penting. Rakyat Bali percaya bahwa roh para leluhur akan pulang ke rumah di hari itu, dan menjadi kewajiban bagi mereka untuk menyambutnya dengan doa dan persembahan. Rangkaian prosesi ritual mewarnai perayaan Galungan. Warga Bali yang mayoritas beragama Hindu selalu antusias dan khusyuk menjalankannya. Perayaan Galungan juga menarik minat wisatawan, baik domestik maupun asing, yang sedang berkunjung ke pulau yang menjadi salah satu destinasi wisata terbaik dunia itu.
BACA JUGA:Stunting di OKU Turun 10,3 Persen, 2024 Ditargetkan Zero Stunting
BACA JUGA:Masa Jabatan Walikota Palembang Tinggal 10 Bulan Lagi
Sejarah Galungan Sejarah Hari Raya Galungan terkait erat dengan mitologi Hindu-Bali. Dikutip dari situs resmi Desa Sangeh yang selaras dengan catatan dalam naskah Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada malam bulan purnama tanggal 15, tahun Saka 804 atau 882 Masehi. Namun, ritual perayaan ini sempat terhenti selama bertahun-tahun. Akibatnya, raja-raja yang berkuasa di Bali kala itu banyak yang wafat dalam usia muda. Selain itu, Pulau Dewata juga terus-menerus diguncang berbagai bencana, demikian dikisahkan dalam Lontar Sri Jayakasunu. Hingga akhirnya, pada masa pemerintahan Raja Sri Jayakasunu, perayaan Galungan diadakan kembali. Awalnya, sang raja heran mengapa raja-raja sebelumnya berumur pendek dan Bali sering dilanda musibah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: