"Karena di pengaruhi nilai agama yang kental, pendekar kuntau banyak direkrut oleh Kesultanan Palembang untuk menjadi prajurit perang" jelas Dedi.
Sekretaris Kowis PTBA Dwi Handayani menyerahkan cinderamata kepada Sofyan selaku praktisi kuntau.-Foto/mardiansyah-PALTV
Seiring berjalannya Kesultanan Palembang begitu juga bela diri kuntau masuk dalam puncak kejayaan, dimana para pendekar kuntau mampu melawan pasukan penjajah Belanda.
Karena terkenal dengan gerakan mematikan dari silat kuntau dan terkenal menggabungkan dengan magis pasukan Belanda sering di pukul mundur oleh prajurit Kesultanan Palembang.
Pendek kuntau di rekrut dari kawasan ulu diantaranya wilayah Muara Enim dan Semende dan ilir wilayah Sumsel.
"Namun sekarang keberadaan Kuntau sudah tergerus, kita berharap dengan memperkenalkan sejarah
Kuntau kepada pesilat muda bisa ikut melestarikan budaya lokal jika perlu kuntau masukkan dalam ekstrakurikuler sekolah atau memodifikasi dengan pencak silat", urai Dedi Irwanto.
Wawan Saputra (36) sebagai generasi penerus kuntau di Muara Enim telah mempelajari beladiri kuntau
sudah 10 tahun belakangan. Meski sekarang hanya sebagai aksi hiburan dan budaya pada sebuah acara namun kuntau sendiri memberikan manfaat lebih bagi tubuh mereka yang mempelajari kuntau.
"Kuntau sendiri merupakan olah tubuh yang menggabungkan gerakan bela diri dengan olah kesabaran dari ajaran agama", jelas Wawan
Ditambahkan Sofyan (60) kalau bela diri kuntau yang sudah di pelajari sudah sejak kecil membuat tubuhnya masih buat di usia sekarang.
Kuntau mempelajari olahtubuh dan olah jiwa dan gerakan kuntau lebih mengutamakan kerjakan yang
lembut untuk bertahan dan serangan balik yang cepat. Gerak seperti ini cukup berbeda jika dengan pencak silat atau ilmu bela diri lainnya.
"Istilah di kuntau itu buang makan bisa di bilang lebih ke gerakan menangkis atau bertahan dan melakukan serangan balik yang mematikan", tutup Sofyan.