Dahulu, guru disanjung dan disanjung karena ilmunya. Namun ada banyak hal yang dihadapi guru saat ini. Mulai dari ditangkap oleh muridnya sendiri hingga dianiaya oleh muridnya.
Terutama para guru terhormat yang menerima gaji tak terbayar sepadan dengan pekerjaannya di negeri ini. Perlu ditekankan bahwa negara yang sukses adalah negara yang mendukung pendidikan dan masyarakat yang mengajar.
BACA JUGA:Ringkasan Bab Penutup Buku Rich Dad Poor Dad, Cara Membiayai Pendidikan Anak dan Dana Pensiun
6. Tidak menjadikan nilai sebagai patokan kecerdasan siswa
Jika nilai tidak dijadikan tolak ukur pengetahuan siswa, Indonesia masih menggunakan sistem nilai untuk membandingkan pengetahuan siswa.
Oleh karena itu, siswa yang berprestasi dalam pendidikan dianggap cerdas. Sebaliknya, orang yang mendapat nilai buruk dianggap gila. Faktanya, kecerdasan siswa tidak selalu didasarkan pada nilai.
Faktanya, ada dua kecerdasan lain yang lebih penting daripada IQ: kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Siswa yang menganggap dirinya bodoh secara intelektual bukanlah bodoh secara intelektual atau spiritual. Oleh karena itu, EQ dan SQ juga harus dipertimbangkan dalam evaluasi pusat.
BACA JUGA:Membuka Jendela Keajaiban: Pentingnya Pendidikan dan Perhatian pada Anak Usia Dini
Tidak menjadikan nilai sebagai patokan kecerdasan siswa --Foto : Unsplash.com/@Syahrul Alamsyah Wahid
7. Mengurangi penggunaan kertas dengan pembelajaran berbasis digital
Mengurangi penggunaan kertas melalui pembelajaran digital, saat ini, pemilihan kayu dan tidak adanya deforestasi menyebabkan banyak deforestasi.
Seiring dengan meningkatnya permintaan kayu, bahan baku kertas, maka umurnya pun semakin menurun. Meski sistem ujiannya sudah terkomputerisasi, namun sistem pendidikan di Indonesia masih mengandalkan buku teks.(*)