Mengulik Cerita Tongkat Sakti Suku Batak Toba, Tongkat Tunggal Panaluan

Mengulik Cerita Tongkat Sakti Suku Batak Toba, Tongkat Tunggal Panaluan

Tongkat Tunggal Panaluan Bangsa Toba.--twitter.com-@zedecksiew

Konon ceritanya, mereka dilahirkan di hari yang buruk. Setelah upacara pemberian nama, para tetua setempat meminta agar kedua anak tersebut dipisahkan untuk menghindari bencana di kemudian hari. Namun, orang tua mereka mengabaikan permintaan tersebut. Kedua orang tua tersebut membesarkan kedua anaknya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Hingga setelah dewasa, warga merasa kedua anak tersebut sepasang kekasih.

Lalu tiba lah hari di mana desa tersebut mengalami kemarau selama tiga bulan, segala tumbuh-tumbuhan mati hingga mata air kering. Menurut masyarakat setempat, ini disebabkan karena perbuatan yang dilakukan kedua anak kembar tersebut yang melakukan hubungan terlarang. Tanpa ada pembelaan, Guru Hatia dan Nan Sindak pun pasrah terhadap keputusan yang diberikan masyarakat setempat, mereka pun diusir dari desa.

BACA JUGA:Polres OKU: PTDH Brigpol Defri Bukan Karena Sakit

BACA JUGA:Video: Menikmati Pindang Tulang Khas Palembang yang Memanjakan Lidah

Kemudian ayah mereka (Guru Hatia Bulan) membangun sebuah sopo untuk dijadikan tempat tinggal mereka dan meninggalkan anjing sebagai penjaga. Sesekali orangtua tersebut mengunjungi mereka dan membawa makanan sambil menahan kesedihan. Tapi, tanpa disadari setelah kedua anak kembar meninggalkan desa, bencana di desa tersebut pun usai.

Lalu, diceritakan ada pohon berduri dan berbuah banyak yang terletak tak jauh dari sopo tersebut. Nauasan yang melihat pohon itu, meminta Aji Donda untuk memanjatnya dan memetik buah untuknya. Lalu, secara tiba-tiba tubuh Aji Donda tersedot ke dalam pohon dan tersisa kepalanya saja. Saat ingin menolong, Nauasan pun bergegas memanjat pohon tersebut namun akhirnya dia pun ikut tersedot dengan menjatuhkan selempangnya. Anjing mereka yang ikut dengannya pun membawa selempang itu ke orang tua anak tersebut.

Lalu Guru Hatia Bulan dan Nan Sindak Panaluan bergegas ke hutan. Mereka melihat kedua anak kembar mereka telah menyatu di pohon. Guru Hatia meminta bantuan ke Datu, namun akhirnya si Datu pun ikut tersedot. Lalu Guru Hatia kembali mencari bantuan ke Datu lainnya. Terdapat sebanyak empat Datu lainnya ikut menolong, namun akhirnya sama saja keempatnya malah ikut tersedot ke dalam pohon.

Tak menyerah, Guru Hatia Bulan meminta bantuan kepada Datu terakhir. Berbeda dengan para Datu sebelumnya, Datu ini membaca doa, meminta sesaji dan tarian Tor Tor. Lalu Datu menebang pohon dan membawanya ke desa. Pohon tersebut kemudian diukir menyerupai mereka yang tersedot ke dalam pohon. Pohon ini lambat laun dikenal sebagai Tunggal Panaluan, dibawa untuk menghibur sepasang suami istri itu. Begitulah kisah cerita legenda dari tongkat Tunggal Panaluan ini.* (Euriko Yospeh Pangaribuan, PALTV.CO.ID)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: berbagai sumber