Bank Digital dan Kerentanan Industri Keuangan Indonesia Terhadap Serangan Siber

Bank Digital dan Kerentanan Industri Keuangan Indonesia Terhadap Serangan Siber

Bank Digital dan Kerentanan Industri Keuangan Indonesia Terhadap Serangan Siber--free pik.com

BACA JUGA:Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumatera Selatan Pastikan Stok Sembako Aman Selama Musim Kemarau

Di tengah perkembangan ekonomi berbasis internet, bank digital di Indonesia mulai memperluas layanan mereka ke berbagai segmen yang berpotensi besar.

Bank Saqu, layanan bank digital dari PT Bank Jasa Jakarta (BJJ) yang dimiliki oleh Astra Financial dan WeLab, berencana meluncurkan produk pinjaman untuk solopreneur, yaitu karyawan yang memiliki pekerjaan tambahan. 

Presiden Direktur Bank Saqu, Leonardo Koesmanto, menyatakan bahwa produk ini akan diluncurkan pada tahun ini. Sejak peluncurannya pada November 2023, Bank Saqu telah mengumpulkan satu juta nasabah.

Pada April 2024, Bank Saqu juga bekerja sama dengan fintech lending Danai.id untuk meningkatkan akses pembiayaan sektor produktif bagi UMKM. 

BACA JUGA:Biodiesel B40: Solusi Hijau untuk Masa Depan Indonesia

Sementara itu, Superbank, salah satu pendatang baru, juga meluncurkan produk pinjaman dengan skema kredit channeling.

Presiden Direktur Superbank, Tigor M. Siahaan, mengungkapkan bahwa perusahaan telah memulai pinjaman langsung untuk komunitas Grab. Superbank juga menawarkan Pinjaman Atur Sendiri (PAS), pinjaman digital tanpa agunan bagi pengguna Grab terpilih.

Presiden Direktur SeaBank Indonesia, Sasmaya Tuhuleley, mengungkapkan bahwa bank berencana meluncurkan fitur pinjaman langsung di aplikasi mereka pada akhir tahun 2024, setelah diuji coba sebelumnya. Fitur ini akan memungkinkan nasabah mengajukan pinjaman tanpa harus melalui pihak ketiga.

Pendekatan Baru dalam Kemitraan Fintech dan Bank

BACA JUGA:Presiden Joko Widodo Mulai Berkantor di Istana Garuda

Arianto Muditomo, pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran, menyebutkan bahwa bank digital akan mulai membangun infrastruktur perkreditan digital mereka sendiri setelah memahami teknologi yang digunakan oleh fintech.

Kemitraan di masa mendatang akan menjadi lebih strategis dengan menggunakan co-branding atau sekuritisasi aset pembiayaan.

Amin Nurdin, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), menambahkan bahwa skema channeling akan tetap berlanjut karena bank adalah bisnis yang diatur ketat, sementara fintech memiliki kemampuan untuk terus berinovasi.

Namun, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam skema channeling, seperti tata kelola manajemen, proses kredit, dan risiko kredit bermasalah. Meski demikian, jika bank mengurangi eksposur ke fintech, dampaknya tidak akan signifikan pada kinerja bisnis perbankan, karena bank memiliki berbagai saluran dan model untuk memasarkan kredit mereka.*

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: berbagai sumber