PALEMBANG, PALTV.CO.ID – Mungkin sebagian pembaca belum mengetahui kalau Jembatan Ampera di Palembang, Sumatera Selatan dulunya bernama Jembatan Bung Karno.
Namun karena alasan tertentu, nama jembatan yang menjadi icon kota Palembang ini akhirnya diubah menjadi Jembatan Ampera dan tetap dipertahankan sampai saat ini.
Anda penasaran? Baca Artikel ini sampai selesai ya biar tidak gagal paham. Oh ya sebagai info, saat ini tengah dilakukan pengerjaan pemasangan lift di menara Jembatan Ampera.
Tujuannya, agar pengunjung bisa melihat keindahan kota Palembang dari atas menara Jembatan Ampera setinggi 50 meter.
Jembatan Ampera memang sangat identik dengan kota Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Jembatan ini bisa dikatakan menjadi salah satu ikon kota Palembang, seperti halnya Sungai Musi yang dilintasi.
Jembatan ini juga memiliki fungsi yang sangat vital dalam transportasi di Pulau Sumatera. Selain sebagai penghubung antara dua wilayah kota Palembang yang dipisahkan oleh aliran Sungai Musi, jembatan ini berfungsi pula sebagai jalur transportasi darat yang menghubungkan beberapa kota di Indonesia.
Demikian vital nya fungsi jembatan ini kini, hingga menggugah minat penulis untuk menelaah latar belakang sejarah pembangunannya. Dan ternyata, fakta sejarah menunjukkan bahwasanya andil Bung Karno dalam pembangunan jembatan ini sangatlah besar. Berikut Alasan mengapa nama Jembatan Bung Karno menjadi Jembatan Ampera yang dilansir dari berdikarionline.com:
Jembatan Bung Karno
Dalam artikel berjudul “Kisah Jembatan Bung Karno” yang ditulis oleh seorang peminat sejarah sekaligus pengusaha, Anton D.H. Nugrahanto, terkuak fakta bahwasanya pemikiran untuk membangun sebuah jembatan diatas aliran Sungai Musi telah ada sejak masa kolonial Belanda.
Di tahun 1906, muncul gagasan untuk menyatukan seberang Ulu dan seberang Ilir kota Palembang yang dipisahkan oleh aliran Musi dengan membangun sebuah jembatan.
Ide ini kembali mencuat pada tahun 1924, ketika kota Palembang dipimpin oleh seorang Residen bernama Le Cocq de Ville. Sang residen pun berangkat ke Batavia guna meminta bantuan Gubernur Jenderal Dirk Fock demi merrealisasikan ide tersebut.
De Ville menunjukkan rancangan jembatan yang dibuat oleh seorang arsitek sekaligus temannya kepada Fock. Sang Gubernur Jenderal pun sepakat dengan rancangan itu. Lalu, empat tahun kemudian, tersiar kabar bahwa jembatan tersebut akan dibangun, meskipun Fock sudah tak lagi menjabat Gubernur Jenderal. Namun rencana itu batal karena Hindia Belanda turut terkena dampak resesi dunia atau krisis Malaise di tahun 1929. Ketika itu, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menghentikan sementara seluruh proyek raksasa, termasuk jembatan Sungai Musi.
BACA JUGA:Fitrianti Agustinda Tinjau Korban Angin ‘Puyuh’ di Lebung Gajah