Kekuatan-kekuatan anti PKI yang didukung oleh militer (AD) dan negara-negara Barat pun menganggap Bung Karno adalah pemimpin yang harus segera dilikuidasi kekuasaannya, baik kekuasaan politik maupun simbolik. Salah satu bentuk dari likuidasi secara simbolik adalah pengubahan nama bangunan atau sarana publik yang awalnya menggunakan nama ‘Bung Karno’. Salah satu ‘korbannya’ adalah Jembatan Bung Karno di atas Musi yang diganti namanya menjadi “Jembatan Ampera”.
Untuk diketahui, Ampera yang merupakan singkatan dari “Amanat Penderitaan Rakyat” merupakan slogan politik yang kerap disuarakan para aktivis demonstran anti PKI dan anti Bung Karno ditahun 1966, yang kemudian dikenal sebagai ‘Angkatan 66’. Selain Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), Ampera menjadi sebuah istilah yang sangat lekat dengan kelompok angkatan 66 yang anti Bung Karno dan pro Orde Baru. Bahkan, kabinet pertama yang dipimpin oleh Letjen Soeharto selaku ketua Presidium juga dinamakan Kabinet Ampera I.
Pengubahan nama jembatan Bung Karno menjadi jembatan Ampera ini tiada lain merupakan upaya rezim Orde Baru untuk mengabaikan jasa Bung Karno dalam proses pembangunannya. Hal ini juga dilakukan Orde Baru terhadap Gelora Bung Karno di Jakarta, yang dirubah namanya menjadi Gelora Senayan (namun telah dikembalikan namanya menjadi Gelora Bung Karno ketika Gusdur berkuasa ditahun 2001).
Upaya pengembalian nama Bung Karno sebagai nama jembatan sungai Musi ini pernah dilakukan pada tahun 2001, ketika peringatan 100 tahun Bung Karno diperingati secara semarak diseluruh tanah air. Sebagian pihak, terutama kalangan PDI Perjuangan Sumatera Selatan, mengusulkan kepada pihak pemerintah provinsi dan DPRD agar mengubah nama jembatan Ampera menjadi jembatan Bung Karno kembali. Namun usulan ini ditolak dengan alasan usulan itu bernuansa politis. Selain itu, sebagian mantan aktivis angkatan 66 juga menolak usulan tersebut.
Bagi sebagian pihak, nama mungkin bukanlah hal yang penting. Namun ketika kita bicara soal jasa seorang pahlawan yang berupaya dinafikan melalui pengubahan nama sebuah jembatan yang ia bangun demi perbaikan taraf hidup rakyatnya, maka hal itu harus dikoreksi. Adalah ironis, ketika ada beberapa negara asing menamai jalan protokol di ibukotanya dengan nama ‘Soekarno’ yang menandai kekaguman dan penghargaan mereka terhadap jasa sang Proklamator, negeri ini justru masih mendiamkan ‘manipulasi’ nama sebuah jembatan yang menunjukkan masih ‘tunduknya’ kita pada manipulasi sejarah yang ‘diproduksi’ oleh rezim tiran komprador asing.
Berikut ini kami jelaskan sruktur, sejarah dan keistimewaan Jembatan Ampera yang dilansir dari Wikipedia.org
Struktur
Panjang Jembatan 1.177 m, lebar 22 m (bagian tengah 71,90 m, berat 944 ton dan dilengkapi pembandul seberat 500 ton), semua bagian tengah bisa diangkat agar kapal-kapal besar bisa lewat namun sejak tahun 1970 bagian tengah sudah tidak dapat diangkat lagi. Bandul pemberatnya pada tahun 1990 dibongkar karena dikhawatirkan dapat membahayakan. Tinggi jembatan ini 11,5 m dari atas permukaan air, tinggi menara 63 m dari permukaan tanah dan jarak antara menara 75 m.
Sejarah
Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ”Seberang Ulu dan Seberang Ilir” dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Wali kota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi.
Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan waktu itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk nama Sungai Musi yang dilintasinya, pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergolong nekat sebab anggaran yang ada di Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatra Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Wali kota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu.
Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00).
Pembangunan Jembatan Ampera dipusatkan di wilayah hilir yang merupakan kawasan pusat kota, terutama kawasan 16 Ilir. Sewaktu pembangunan Jembatan Ampera, banyak sekali bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang dibongkar, salah satunya pusat perbelanjaan terbesar Matahari atau Dezon, Kantor listrik (OGEM), dan Bank ESCOMPTO. Bangunan peninggalan Belanda yang tidak dibongkar hanya menara air atau waterleding yang sekarang digunakan sebagai Kantor Wali Kota. Di bagian hulu, banyak perumahan penduduk yang juga ikut dibongkar.
Pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.
Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.