Sementara Amerika Serikat dan Kanada telah lama memberlakukan tarif impor tinggi pada EV China, Eropa hingga saat ini menjadi salah satu tujuan ekspor utama bagi kendaraan listrik asal Tiongkok.
Respons dari Beijing menunjukkan ketidakpuasan yang cukup besar terhadap kebijakan tarif baru UE.
BACA JUGA:Pj Walikota Palembang Launching Dapur Sehat dengan Makanan Bergizi
China menuding keputusan ini sebagai langkah proteksionis yang melanggar prinsip-prinsip perdagangan bebas, serta berpotensi merusak rantai pasokan global di sektor otomotif.
Pemerintah China bahkan mengambil langkah balasan dengan membuka investigasi atas produk Eropa, termasuk produk brendi, susu, dan daging babi.
Selain itu, Beijing juga telah membawa permasalahan ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dengan harapan bahwa masalah ini akan diselesaikan secara adil.
Mulai diberlakukan per 30 Oktober 2024, langkah ini menuai berbagai respons, --ilustrasi pribadi
Kondisi pasar kendaraan listrik di Eropa memang telah berubah signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
BACA JUGA:Indonesia Perkenalkan Paspor Merah, Simbol Nasionalisme Baru
BACA JUGA:Kodam II Sriwijaya Siapkan Pasukan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana
Komisi Eropa memperkirakan bahwa pangsa pasar kendaraan listrik China di Eropa telah melonjak hingga 8%, dari yang awalnya kurang dari 1% pada 2019.
Jika tren ini berlanjut, pangsa pasar China bisa mencapai hingga 15% pada tahun 2025. Salah satu alasan dominasi ini adalah harga EV China yang relatif lebih terjangkau, sekitar 20% lebih murah dibandingkan dengan kendaraan listrik buatan Eropa.
Dengan harga yang kompetitif, produsen China mampu menarik minat konsumen Eropa yang kini mulai beralih dari mobil berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik.
Namun, kebijakan tarif impor yang ketat tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh negara anggota Uni Eropa.
BACA JUGA:Indonesia Perkenalkan Paspor Merah, Simbol Nasionalisme Baru