PALEMBANG, PALTV.CO.ID - Secara hukum, tindakan istri mengambil uang di saku suami tanpa izin menjadi sorotan dalam dinamika kehidupan keluarga.
Meskipun secara umum dianggap tidak dibenarkan, terdapat nuansa dan perspektif yang memperbolehkan hal tersebut dalam konteks kebutuhan mendesak keluarga.
Menurut perspektif hukum yang dilansir dari Tanya Jawab Tim Layanan Syariah, Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, dijelaskan istri seharusnya tidak mengambil uang suami tanpa izin, mengingat uang tersebut dianggap milik suami.
Namun, dalam keadaan tertentu, seperti untuk memenuhi kebutuhan mendesak seperti biaya pengobatan atau pendidikan anak, tindakan ini dapat dianggap dibenarkan.
BACA JUGA:Kisah Seorang Arab Badui Yang Terpilih Menjadi Teman Nabi Muhammad SAW di Surga
Dalam konteks hukum Islam, istri memiliki hak untuk mengambil nafkah dari suami. Nafkah tersebut mencakup kebutuhan pokok seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan biaya kesehatan.
Jika suami tidak memenuhi nafkah dengan cukup, istri diperbolehkan mengambilnya tanpa izin suami, tetapi dengan syarat tetap bersikap jujur dan terbuka terhadap suami.
Sebuah peristiwa serupa tercatat dalam sejarah zaman Nabi Muhammad, di mana istri meminta izin Nabi terkait pengambilan uang suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Dalam hadis riwayat Imam Bukhari, Nabi memberikan izin dengan catatan agar diambil sesuai kebutuhan yang wajar.
عن عائشة قالت: جاءت هند إلى النبي صلى الله عليه وسلم، فقالت: يارسول الله إن أبا سفيان رجل شحيح، لايعطيني ما يكفيني وولدي، إلا ما أخذت من ماله، وهو لايعلم، فقال: خذي مايكفيك وولدك بالمعروف
"Aisyah RA menceritakan bahwa Hindun pernah bertanya kepada Rasullah. ‘Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya Abu Sufyan suami yang pelit. Nafkah yang diberikannya kepadaku dan anakku tidak cukup sehingga saya terpaksa mengambil uang tanpa sepengetahuannya,’ kata Hindun. ‘Ambil secukupnya untuk kebutuhanmu dan anakmu,’ jawab Nabi SAW,” (HR. Al-Bukhari, Ibnu Majah, dan lain-lain).
Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan bahwa boleh mengambil dengan cara yang ma’ruf, maksudnya adalah sesuai kadar yang dibutuhkan secara ‘urf (menurut kebiasaan setempat). (Fath Al-Bari, 9:509)
Menanggapi hal ini, Tim Layanan Syariah dari Ditjen Bimas Islam menjelaskan bahwa kebolehan ini terbatas pada kebutuhan primer yang sangat penting.
BACA JUGA:Hukum Meninggalkan Shalat Jumat Demi Pekerjaan yang Mendesak