Karena tidak adil rasanya jika konsumen harus menanggung kerugian besar hanya karena perubahan strategi penjualan.
Pihak Wuling sendiri melalui Brian Gomgom, Brand & Communication Senior Manager, menyampaikan bahwa penurunan harga yang terjadi di lapangan bukanlah kebijakan resmi dari prinsipal, melainkan inisiatif masing-masing dealer.
Wuling Motors mengaku tidak pernah merilis kebijakan nasional terkait revisi harga, dan menyebutkan bahwa diskon tersebut adalah strategi mandiri dealer.
BACA JUGA:Kue Lumpang Moderen: Transformasi dari Jajanan Kue Kampung Jadi Camilan Penuh Warna
BACA JUGA:Kecelakaan Maut di Jalintim Banyuasin, 1 Sopir dan 2 Kernet Truk Colt Diesel Meninggal di Tempat
Namun pernyataan itu menimbulkan pertanyaan lebih besar: apakah Wuling membebaskan dealer-nya untuk menetapkan harga sesuka hati? Seharusnya ada batas harga minimum atau kebijakan penetapan harga resmi yang diberlakukan.
Karena jika tidak, situasi ini bisa memicu perang harga antar dealer, yang tentunya berdampak buruk bagi stabilitas pasar.
Apalagi GIIAS bukanlah event sembarangan.
Ini adalah salah satu pameran otomotif terbesar dan paling prestisius di Indonesia, tempat berbagai produsen memperkenalkan inovasi dan model terbaru mereka.
Bila pihak Wuling mengetahui pentingnya GIIAS, seharusnya mereka juga bisa memantau aktivitas dealer di acara tersebut.
Yang menjadi korban bukan hanya konsumen pemilik mobil baru, tapi juga penjual mobil bekas.
BACA JUGA:Kepala SD Negeri 85 Palembang Terancam Dimutasi
Bagaimana tidak, harga pasar untuk Binguo bekas varian 333 km tahun 2024 dengan kilometer rendah kini ada di kisaran Rp250 juta.
Tapi karena harga barunya justru lebih rendah dari itu, otomatis mobil bekas tersebut jadi tidak laku dijual.
Penurunan nilai seperti ini jelas memukul penjual mobil bekas. Namun, secara hukum di Indonesia, tidak ada regulasi yang mengatur soal harga dasar (floor price) untuk produk konsumsi seperti mobil.