Kidd menambahkan bahwa regulator harus mencegah produsen mobil agar tidak membiarkan pengemudi mematikan fitur-fitur pencegahan kecelakaan seperti lane departure warning.
BACA JUGA:Mobil Listrik milik VinFast semakin banyak diminati di Indonesia
BACA JUGA:Geger! Warga Gelumbang Temukan Bayi Terlantar di Kebun Karet
“Kami tidak berpikir itu harus diizinkan, terutama karena fitur ini membuat mengemudi lebih aman,” kata Kidd.
Sebagai contoh, AEB menggunakan radar dan kamera untuk memantau jalan di depan.
Ketika mendeteksi bahaya, sistem ini akan menganalisis apakah pengemudi telah mengambil tindakan reaktif, seperti pengereman atau menghindar.
Jika tidak ada reaksi dari pengemudi, AEB secara otomatis akan mengerem untuk memperlambat atau menghentikan kendaraan.
BACA JUGA:Game Dark Hours, Terjebak dalam Mimpi Buruk Supernatural yang Menegangkan
BACA JUGA:Bakal Calon Gubernur Sumsel Eddy Santana Putra Kunjungan ke Pasar Kuto dan Bantu Korban Kebakaran
IIHS mencatat bahwa AEB mampu mengurangi kecelakaan belakang yang dilaporkan polisi hingga 50%.
Selain itu, fitur seperti cruise control adaptif, lane-keeping assist, dan pengawas titik buta juga efektif dalam meningkatkan keselamatan di jalan.
Namun, hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk sistem Level 2 seperti Full-Self Driving Tesla, Blue Cruise Ford, atau Super Cruise General Motors.
Meskipun kendaraan ini dapat dikemudikan secara semi-otonom dengan pengawasan pengemudi dalam kondisi tertentu, tingkat kecelakaan yang melibatkan kendaraan dengan sistem ini terus meningkat.
BACA JUGA:Mengapa Busi Motor Bisa Basah? Kenali Penyebab dan Cara Mengatasinya
BACA JUGA:Mengapa Game It Takes Two Menjadi Salah Satu Game Terbaik Sepanjang Masa
“Automasi mengubah cara orang berinteraksi dengan mobil,” ujar Kidd. “Orang mungkin menjadi lebih nyaman menggunakan teknologi ini dan akhirnya terlibat dalam aktivitas yang lebih mengganggu.”