"Jika permintaan terus menurun sampai mengalami krisis, maka kemungkinan harga nikel akan turun di bawah US$ 15 ribu.
Di saat itulah kita mungkin akan melihat banyak smelter di Indonesia mengurangi kapasitas produksinya," jelasnya.
Sementara itu, Seto juga mengamati bahwa beberapa negara seperti Australia dan Prancis mengajukan protes terkait penurunan harga nikel.
Meskipun demikian, ia menunjukkan bahwa harga nikel saat ini masih lebih tinggi daripada rata-rata dalam sepuluh tahun terakhir.
Seto mengaku agak bingung melihat protes dari negara-negara seperti Australia, Kaledonia, dan Prancis terkait penurunan harga nikel. Padahal, harga saat ini masih lebih tinggi daripada rata-rata dalam sepuluh tahun terakhir.
Seto juga menjelaskan bahwa protes ini mungkin dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, banyak proyek nikel di negara-negara seperti Australia dimulai ketika harga nikel masih tinggi, yaitu di atas US$ 20.000 per ton.
Menurut Seto, sebagian besar proyek nikel, seperti di Australia, dimulai ketika harga nikel masih tinggi, yaitu di atas US$ 20.000 per ton. Oleh karena itu, mereka berharap agar harga tetap tinggi.
Kedua, dari segi efisiensi, proyek nikel di Kaledonia Baru sudah banyak yang tidak efisien.
"Situasi di Kaledonia Baru menunjukkan bahwa banyak proyek nikel di sana tidak efisien, baik dari segi smelter maupun investasi. Ini akan membuat mereka kesulitan bersaing di masa mendatang," tambahnya.*