Pada tahun 1986, dua bersaudara mendapat kesempatan istimewa. Chevron, yang membeli Gulf Oil, berencana menjual anak perusahaannya, termasuk General Atomics.
BACA JUGA:Wisata Temalam Kampungan, Rasakan Sensani Camping di Kebun Durian
Setelah negosiasi, General Atomics secara resmi dijual seharga $60 juta. Namun Neal Blue ingin segera mengubah bisnis perusahaannya menjadi penerbangan. Dia memikirkan bagaimana mengelola citra perusahaan.
"Neal Blue berbicara tentang drone dan teknologi lainnya setidaknya dua atau tiga kali seminggu." kata Tom Dillon, yang menjabat Wakil Presiden Program Pertahanan pada 1984 hingga 1988, demikian lapor Forbes, Kamis (1 September 2020)
.Hal ini terjadi pada Project Birdie, drone kecil yang tidak dapat dihidupkan dengan sistem GPS internal.
Pada awalnya, perusahaan mengalami kesulitan menarik pelanggan hingga tahun 1993, ketika CIA membeli drone milik perusahaan untuk digunakan dalam perang Balkan.
Setahun kemudian, General Atomics menerima kontrak senilai US$31,7 juta dari Angkatan Laut AS untuk membuat drone yang lebih canggih. Pesawat ini kemudian menjadi jet tempur pertama perusahaan, MQ-1 Predator.
Berkat bisnis ini, Neal Blue menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Forbes awal tahun ini melaporkan kekayaannya mencapai US$4,1 miliar atau setara Rp 57,4 triliunNamun, bisnis perusahaan menghadapi persaingan dari semakin banyak pelaku pasar.
Northrop Grumman saat ini mendominasi pasar drone militer dengan drone terbesarnya, RQ-4 Global Hawk, yang dapat menjelajah hingga 60,000 kaki. Ini adalah drone yang ditembak jatuh Iran pada Juni 2019.(*)