Mobil Entry Level di Indonesia Minim Fitur? Ini Penjelasannya

Rabu 04-06-2025,10:31 WIB
Reporter : Dodi
Editor : Hanida Syafrina

Tekanan harga menjadi sangat besar karena daya beli konsumen berada pada batas minimum.

Untuk bisa menghadirkan mobil murah, pabrikan harus menekan biaya produksi semaksimal mungkin. Dan cara paling mudah adalah memangkas fitur.

BACA JUGA:Strategi Marketing Beli 10 Gratis 1, Sapi Kambing Kurban Habis Terjual

BACA JUGA:Mantap!! Satlantas Palembang Gagalkan Penyelundupan 63 Ribu Benih Lobster Pasir

Tambahan fitur seperti airbag, kamera parkir, sensor atau system infotainment canggih tentu saja memerlukan biaya.

Tambahan fitur otomatis akan menaikkan harga jual. Kalau terlalu mahal, mobil tersebut tidak lagi layak masuk ke segmen entry level.

Alasan Teknis dan Risiko After Sales

Ada juga alasan lain yang cukup masuk akal tapi jarang disadari: semakin banyak fitur, maka semakin besar risiko kerusakan.

Konsumen di segmen ini biasanya menginginkan mobil yang praktis, tidak rewel, dan tidak memerlukan biaya perawatan tinggi.

BACA JUGA:TikTok Luncurkan TikTok for Artists, Platform Insight Musik Terbaru

BACA JUGA:Bejatnya! Ayah Rudapaksa Anak Kandung di Musi Rawas

Jika mobil murah dibekali banyak fitur elektronik seperti sensor parkir, TPMS, ESC, atau bahkan fitur semi-otonom, maka jika ada kerusakan, biaya perbaikannya bisa sangat membebani konsumen.

Dan jika itu terjadi, reputasi merek pun bisa ikut tercoreng.

Oleh karena itu, pabrikan lebih memilih untuk membuat mobil sesederhana mungkin, agar risiko teknis rendah, produksi mudah, dan layanan purna jual pun lebih efisien.

Contohnya, jika sensor parkir rusak dalam 2–3 tahun, mungkin bagi konsumen menengah ke atas hal ini kecil.

Tapi bagi pembeli entry level, ini bisa jadi beban finansial. Maka, lebih baik tidak disematkan sejak awal.

Kategori :