“Poin itu menjadi pembuka dalam dakwaan, untuk menggambarkan bagaimana rangkaian peristiwa yang akhirnya berujung pada dugaan tindak pidana korupsi,” jelas Umaryadi.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa hasil penyidikan tidak menemukan adanya keterlibatan langsung Anita dalam perbuatan pidana. Namun demikian, kehadiran Anita di persidangan tetap bisa dipertimbangkan bila keterangan yang bersangkutan dibutuhkan baik oleh jaksa maupun majelis hakim.
“Kalau nantinya keterangan beliau dianggap relevan oleh jaksa atau majelis hakim, tentu bisa saja dihadirkan sebagai saksi,” tegasnya.
BACA JUGA:Disnakertrans OKI selidiki Laporan Karyawan Perusahaan Belum Terima Gaji
BACA JUGA:Retret Siswa Bermasalah Tunggu Izin Panglima TNI
Diketahui, dalam dakwaan jaksa terungkap bahwa proyek bermasalah tersebut berawal dari kunjungan kerja Arie Martha Redo bersama RA Anita Noeringhati ke Kelurahan Keramat Raya, Kecamatan Talang Kelapa, Banyuasin, pada tahun 2023.
Saat itu, empat proposal kegiatan usulan masyarakat diserahkan dan kemudian diarahkan kepada Dinas PUPR.
Proyek yang berasal dari daerah pemilihan (dapil) Anita itu kemudian menjadi bahan pembahasan sejumlah pertemuan tertutup antar terdakwa.
Dalam prosesnya, terjadi kesepakatan pemberian “fee” sebesar 20 persen dari nilai proyek, yang dibagi 7 persen untuk Kadis PUPR Apriansyah, dan 3 persen untuk panitia lelang atau Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Banyuasin.
BACA JUGA:Selamat Datang Calon Birokrat! Ini Wejangan Khusus dari Wamenkum
BACA JUGA:Spesifikasi TECNO Pova 7 Ultra, Harga Bikin Kaget!
Pelaksanaan proyek dilakukan oleh CV HK, yang diwakili oleh terdakwa Wisnu Andrio Fatra. Fee kepada Arie Martha Redo diberikan dalam dua tahap, masing-masing pada 10 Mei dan 8 Juni 2023, dengan total Rp606,8 juta.