perbandingan strategi Yamaha dan Honda terbaru--Foto: youtube@fuse box moto
Contoh nyata, di ajang Pekan Raya Jakarta 2024, NMAX Turbo terjual lebih dari 2.000 unit dalam sebulan. Padahal jika digabung semua model maxi Yamaha, totalnya hanya sekitar 3.800 unit. Artinya, model-model tersebut memang saling menggerogoti potensi satu sama lain.
Kita bisa melihat pola ini sejak lama. Saat Aerox 155 pertama kali hadir di 2017, dampaknya langsung terasa. Sebelum Aerox meluncur, NMAX di Januari 2017 mampu menjual 19.491 unit.
Begitu Aerox dirilis Maret, penjualan NMAX turun drastis. Aerox sendiri mencetak penjualan 17.844 unit pada bulan debutnya. Memang kemudian penjualan gabungan kedua model sempat menopang performa Yamaha, tapi efek saling makan tetap terjadi.
fakta persaingan Yamaha vs Honda di pasar motor--Foto: youtube@fuse box moto
Mengapa Yamaha terus mempertahankan pola ini? Nampaknya, Yamaha sengaja ingin merangkul semua segmen. Buktinya, produknya mencakup berbagai kategori: matic kecil seperti Mio dan Freego, model retro semacam Fazzio, hingga keluarga Maxi. Strategi ini memastikan konsumen dari berbagai kalangan tetap memiliki pilihan Yamaha. Walau repot dan penuh risiko, langkah ini terbukti membuat Yamaha tetap eksis sekaligus menjadi pionir tren.
Misalnya, Aerox sukses memopulerkan konsep matic bongsor sporty yang akhirnya diikuti banyak kompetitor, termasuk pabrikan Tiongkok seperti QJ Motor, bahkan Honda dengan Air Blade.
Yamaha pun berhasil menciptakan citra premium melalui jajaran Maxi-nya. Jika satu model sukses, Yamaha biasanya cepat merilis varian baru atau menaikkan spesifikasinya untuk menjaga momentum.
Namun, meski strategi itu efektif dalam menciptakan tren, Yamaha belum berhasil menyaingi Honda dalam hal volume penjualan. Honda menggunakan pendekatan berbeda.
Mereka lebih selektif dalam memperbanyak varian. Contohnya di kelas matic 110–125 cc, Honda hanya mengandalkan Beat dan Scoopy. Di segmen 160 cc, pilihannya Vario, PCX, dan ADV.
Setelah Vario mapan sebagai pemimpin pasar, Honda enggan menambah model yang terlalu mirip agar tidak terjadi kanibalisme internal. Strategi minim tumpang tindih ini sukses besar.
Pada 2024, Honda menjual sekitar 4,9 juta unit motor—menguasai sekitar 78% pasar nasional. Padahal tulang punggung penjualannya hanya berkutat pada model yang sama sejak lama: Beat series, Scoopy, Vario, dan PCX.
Sementara itu, Yamaha malah memicu keraguan konsumen dengan banyaknya model yang mirip. Contohnya, meski NMAX Turbo punya fitur canggih, orang masih mempertanyakan kualitas dan cara merawat teknologinya. Sedangkan Honda PCX yang sering dianggap ketinggalan zaman, tetap laku keras karena konsumen percaya pada reputasi Honda yang konsisten.
Hal serupa terjadi di segmen entry level. Mio sudah berkali-kali mengalami pembaruan model sampai konsumen bingung memilih. Belum lagi muncul model sekelas Mio lain, seperti Yamaha Gear, yang justru makin melemahkan Mio sendiri. Yamaha seakan terus mencoba-coba: rilis model A, B, C, lalu melihat mana yang laris. Jika kurang diminati, ganti model lagi.
Akibatnya, produk Yamaha sering tumpang tindih dan membingungkan, terutama bagi konsumen konservatif yang cenderung memilih produk yang sudah jelas rekam jejaknya. Banyak pembeli—terutama yang sudah berumur—pada akhirnya memutuskan memilih Honda Beat saja. Modelnya tidak berubah signifikan, teknologinya tetap sama, sehingga dianggap aman dan terjamin.
Padahal kenyataannya Honda Beat sekarang juga punya banyak kekurangan, tidak seirit dulu. Namun pola pikir pasar sudah terbentuk. Yamaha masih mempertahankan strategi kanibalisasi, sementara Honda tetap konsisten dan konservatif. Jadi bisa diprediksi, dalam beberapa tahun ke depan, Honda masih akan terus mendominasi, sedangkan Yamaha akan tetap jadi pengikut tren—meskipun selalu berhasil memelopori inovasi baru.