film terbarunya, Evil Does Not Exist.--Foto: Instagram@allthosefilms
Kekhawatiran warga semakin meningkat ketika diketahui bahwa proyek glamping akan dilengkapi dengan sistem septic tank, yang dapat mencemari sumber air mereka.
Sutradara Hamaguchi menggunakan sinematografi yang halus, terutama melalui teknik kamera statis, untuk memunculkan pesona dan kedamaian Desa Mizubiki.
Setiap adegan menangkap keindahan alam yang puitis, menggambarkan pohon-pohon pinus, pohon ek, salju yang turun lembut, hingga sungai kecil yang mengalir tenang.
Tidak lupa, ia juga menyoroti keunikan flora seperti wasabi liar yang tumbuh subur di sekitar desa.
Lewat gambar-gambar ini, Hamaguchi menciptakan desa yang tampak seperti “surga kecil” yang damai di dunia nyata, membawa penonton pada perasaan tenang seolah ikut tenggelam dalam kehidupan di Mizubiki.
Takumi sebagai karakter utama disajikan dengan sosok yang tenang dan misterius. Ia digambarkan sebagai sosok yang tidak banyak bicara, memberikan kesan enigmatik yang menambah daya tarik karakternya.
Meski pekerjaan sehari-harinya terlihat biasa sebagai pekerja serabutan, perannya sangat signifikan dalam menggerakkan cerita.
Hubungan antara Takumi dan putrinya, Hana, juga terkesan ganjil dan berbeda dari hubungan ayah dan anak pada umumnya.
Takumi tampak menjaga jarak dengan Hana, menciptakan kesan misterius yang menggiring penonton untuk terus mencari makna di balik sikapnya.
Judul film Evil Does Not Exist membawa makna filosofis yang lebih dalam. Hamaguchi mengajak kita merenungkan apakah mungkin ada sebuah tempat di dunia ini yang benar-benar bebas dari unsur kejahatan, atau bahwa kejahatan adalah bagian dari sifat alami manusia.
Dalam konflik yang dihadapi Desa Mizubiki, ada garis tipis antara pertahanan diri dan pelanggaran terhadap lingkungan.
Hamaguchi mempertanyakan apakah dorongan bertahan hidup dan keberlangsungan adalah wujud dari kebaikan, atau justru membuka celah bagi kejahatan.